Tuesday, June 3, 2008

Tujuh Kata

oleh: Mary Ann Bird

Aku tahu aku berbeda dari anak-anak lain. Dan aku amat membencinya. Ketika aku mulai bersekolah, teman-teman selalu mengejekku, maka aku semakin tahu perbedaan diriku. Aku dilahirkan dengan cacat. Langit-langit mulutku terbelah.Ya, aku adalah seorang gadis kecil dengan bibir sumbing, hidung bengkok, gigi yang tak rata. Bila berbicara suaraku sumbang, sengau dan kacau. Bahkan aku tak bisa meniup balon bila tak kupejet hidungku erat-erat.
Jika aku minum menggunakan sedotan, air akan mengucur begitu saja lewat hidungku. Bila ada teman sekolahku bertanya, "Bibirmu itu kenapa?" Aku katakan bahwa ketika bayi
aku terjatuh dan sebilah pecahan beling telah membelah bibirku.
Sepertinya aku lebih suka alasan ini daripada mengatakan bahwa aku cacat semenjak lahir. Saat berusia tujuh tahun aku yakin tidak ada orang selain keluargaku yang mencintai aku. Bahkan tidak ada yang mau menyukaiku.
Saat itu aku naik ke kelas dua dan bertemu dengan bu Leonard. Aku tak tahu apa nama lengkapnya. Aku hanya memanggilnya bu Leonard. Beliau berparas bundar, cantik dan selalu harum. Tangannya gemuk. Rambutnya coklat keperakan. Matanya hitam lembut yang senantiasa tampak tersenyum meski bibirnya tidak. Setiap anak menyukainya. Tetapi tak ada yang menyintainya lebih daripada aku. Dan aku punya alasan tersendiri untuk itu.
Pada suatu ketika sekolah melakukan test kemampuan pendengaran; yaitu mendengar kata yang dibisikkan dengan satu telinga ditutup bergantian. Terus terang sulit bagiku
untuk mendengar suara-suara dengan satu telinga. Tidak ada orang yang tahu akan cacatku yang satu ini. Aku tak mau gagal pada test ini lalu menjadi satu-satunya anak dengan segala cacat di sekujur tubuhnya. Maka aku mencari akal untuk menyusun rencana curang. Aku perhatikan setiap murid yang ditest. Test berlangsung demikian: setiap murid diminta berjalan ke pintu kelas, membalikkan tubuh, menutup satu telinganya dengan jari, kemudian bu guru akan membisikkan sesuatu dari meja tulisnya. Lalu murid diminta untuk mengulangi perkataan bu guru. Hal yang sama dilakukan pada telinga yang satunya. Aku menyadari ternyata tak ada seorang pun yang mengawasi apakah telinga itu ditutup dengan rapat atau tidak. Kalau begitu aku akan berpura-pura saja menutup telingaku. Selain itu aku tahu dari cerita murid-murid yang lain bu guru biasanya membisikkan kata-kata seperti, "Langit itu biru" atau "Apakah kau punya sepatu baru?".
Kini tiba pada giliran terakhir, giliranku. Aku berjalan ke luar kelas, membalikkan tubuh lalu menutup telingaku yang cacat itu dengan kuat tetapi kemudian perlahan-lahan merenggangkannya sehingga aku bisa mendengar kata-kata yang dibisikkan oleh
bu guru. Aku menunggu dengan berdebar-debar kata-kata apa yang akan dibisikkan oleh bu Leonard. Dan bu Leonard, bu guru yang cantik dan harum, bu guru yang aku cintai itu, membisikkan tujuh buah kata yang aku telah mengubah hidupku selamanya. Ia berbisik dengan lembut, "Maukah kau jadi putriku, wahai gadis manis?" Tanpa sadar aku berbalik, berlari, memeluk bu Leonard erat-erat, dan membiarkan seluruh air mataku tumpah di tubuhnya.

Ada Sebuah Kampung

Ada sebuah kampung di pedalaman Tanah Jawa. Di situ ada seorang perempuan
tua yang sangat kuat beribadat. Pekerjaannya ialah membuat tempe dan menjualnya
di pasar setiap hari. Ia merupakan satu-satunya sumber
pendapatannya untuk menyara hidup. Tempe yang dijualnya merupakan tempe
yang dibuatnya sendiri.
Pada suatu pagi, seperti biasa, ketika beliau sedang bersiap-siap untuk
pergi menjual tempenya, tiba tiba dia tersedar yang tempenya yang diperbuat
daripada kacang soya hari itu masih belum menjadi, separuh jadi. Kebiasaannya
tempe beliau telah masak sebelum bertolak. Diperiksanya beberapa bungkusan
yang lain. Ternyatalah memang kesemuanya belum masak lagi.
Perempuan tua itu berasa amat sedih sebab tempe yang masih belum menjadi
pastinya tidak akan laku dan tiadalah rezekinya pada hari itu. Dalam suasana
hatinya yang sedih, dia yang memang kuat beribadah teringat akan firman
Tuhan yang menyatakan bahawa Tuhan dapat melakukan perkara-perkara ajaib,
bahawa bagi Tuhan tiada yang mustahil. Lalu diapun mengangkat kedua tangannya
sambil berdoa , "Tuhan , aku memohon kepadaMu agar kacang
soya ini menjadi tempe. Amin"
Begitulah doa ringkas yang dipanjatkan dengan sepenuh hatinya. Dia sangat
yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doanya. Dengan tenang perempuan tua
itu
menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan hujung jarinya dan dia pun
membuka sikit bungkusan itu untuk menyaksikan keajaiban kacang soya itu
menjadi tempe. Namun, dia termenung seketika sebab kacang tu masih tetap
kacang soya.
Namun dia tidak putus asa, sebaliknya berfikir mungkin doanya kurang
jelas
didengar oleh Tuhan. Maka dia pun mengangkat kedua tangannya semula dan
berdoa lagi. "Tuhan, aku tahu
bahawa tiada yang mustahil bagiMu. Bantulah aku supaya hari ini aku dapat
menjual tempe kerana inilah mata pencarianku. Aku mohon agar jadikanlah
kacang soyaku ini kepada tempe, Amin".
Dengan penuh harapan dan debaran dia pun sekali lagi membuka sedikit
bungkusan tu. Apakah yang terjadi? Dia termangu dan hairan apabila
tempenya
masih tetap begitu!!
Sementara itu hari pun semakin meninggi sudah tentu pasar sudah mula
didatangi ramai orang. Dia tetap tidak kecewa atas doanya yang belum
terkabul. Walaubagaimanapun kerana keyakinannya yg sangat tinggi dia
bercadang untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu.
Perempuan
tua itu pun berserah pada Tuhan dan meneruskan pemergian ke pasar sambil
berdoa dengan harapan apabila sampai di pasar kesemua tempenya akan masak.
Dia berfikir mungkin keajaiban Tuhan akan terjadi semasa perjalanannya
ke
pasar.
Sebelum keluar dari rumah, dia sempat mengangkat kedua tangannya untuk
berdoa. "Tuhan, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara aku
berjalan menuju ke
pasar, Engkau kurniakanlah keajaiban ini buatku, jadikanlah tempe ini.
Amin". Lalu dia pun berangkat. Di sepanjang perjalanan dia tetap tidak
lupa
membaca doa di dalam hatinya.
Sesampai sahaja di pasar, segera dia meletakkan barang-barangnya. Hatinya
betul-betul yakin yang tempenya sekarang mesti sudah menjadi. Dengan
hati yg
berdebar-debar dia pun
membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan tempe
yang ada.
Perlahan-lahan dia membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya.
Apa yang terjadi? Tempenya masih belum menjadi!!
Dia pun kaget seketika lalu menarik nafas dalam-dalam. Dalam hatinya
sudah
mula merasa sedikit kecewa dan putus asa kepada Tuhan kerana doanya tidak
dikabulkan. Dia berasakan Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan padanya,
inilah satu-satunya punca rezekinya, hasil jualan tempe. Dia akhirnya cuma
duduk sahaja tanpa mempamerkan barang jualannya sebab dia berasakan bahawa
tiada orang yang akan membeli tempe yang baru separuh menjadi.
Sementara itu
hari pun semakin petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli sudah
mula
kurang.

Dia meninjau-ninjau kawan-kawan sesama penjual tempe, tempe mereka sudah
hampir habis. Dia tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi
kenyataan
bahawa hari ini tiada hasil jualan yang boleh dibawa pulang. Namun jauh
di
sudut hatinya masih menaruh harapan terakhir kepada Tuhan, pasti Tuhan
akan
menolongnya. Walaupun dia tahu bahawa pada hari itu dia tidak akan dapat
pendapatan langsung, namun dia tetap berdoa buat kali terakhir, "Tuhan,
berikanlah penyelesaian terbaik terhadap tempeku yang belum menjadi ini."
Tiba-tiba dia dikejutkan dengan teguran seorang wanita.

"Maaf ya, saya ingin bertanya, Makcik ada tak menjual tempe yang belum
menjadi? Dari tadi saya sudah pusing keliling pasar ini untuk mencarinya
tapi masih belum berjumpa lagi."
Dia termenung dan terpinga-pinga seketika. Hatinya terkejut sebab sejak
berpuluh tahun menjual tempe, tidak pernah seorang pun pelanggannya
mencari
tempe yang belum menjadi. Sebelum dia menjawab sapaan wanita di depannya
itu, cepat-cepat dia berdoa di dalam hatinya "Tuhan, saat ini aku tidak
mahu tempe ini menjadi lagi. Biarlah tempe ini seperti semula, Amin".
Sebelum dia menjawab pertanyaan wanita itu, dia membuka sedikit daun
penutup
tempenya. Alangkah seronoknya dia, ternyata memang benar tempenya masih
belum menjadi! Dia pun rasa gembira dalam hatinya dan bersyukur pada
Tuhan.
Wanita itu pun memborong habis kesemua tempenya yang belum menjadi itu.
Sebelum wanita tu pergi, dia sempat bertanya wanita itu, "Mengapa hendak
membeli tempe yang belum jadi?"
Wanita itu menerangkan bahawa anaknya yang kini berada di England teringin
makan tempe dari desa. Memandangkan tempe itu akan dikirimkan ke
England, si
ibu tadi kenalah membeli tempe yang belum jadi lagi supaya apabila
sampai di
England nanti akan menjadi tempe yang sempurna. Kalau dikirimkan tempe
yang
sudah menjadi, nanti di sana tempe itu sudah tidak elok lagi dan
rasanya pun
kurang sedap.

Perempuan tua itu pun kehairanan dan berfikir rupa-rupanya doanya
sudah pun
dimakbulkan oleh Tuhan...

JANGAN MENGELUH

Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.

Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, "Lulu, Lulu." Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, "Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu." Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak, "Lulu, Lulu". "Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?" tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab, "Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu."

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Cerita terakhir adalah mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, "Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat,saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga."

Monday, June 2, 2008

Penantian Sang Ayah

Tersebutlah seorang ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi
anaknya. Di suatu weekend, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar
malam. Mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat
beltnya karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang
kembali, namun si anak tidak menurut.

Benar saja, di sebuah tikungan, sebuah mobil lain melaju kencang tak
terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si
ayah
selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal, dan
menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam di
rumah
sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat dan mendengar
apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa memeluk erat anaknya,
karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang bisa anaknya rasakan.

Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia senantiasa
menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es, si ayah diam
saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan memperparah demam
anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa berjalan ke tempat yang
hangat, namun si ayah menarik keras sampai melukai tangan si anak, karena
ternyata tempat 'hangat' tersebut tidak jauh dari sebuah gedung yang
terbakar hebat.

Suatu kali anaknya kesal karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si
anak sangat marah, namun sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya
terbatas. Ingin rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah
berkarat., namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat
merasakan. Ia hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya
hanya melakukan yang terbaik untuk anaknya.

Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya
mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia
merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia
menjaganya. Dia hanya bisa berdoa dan berharap, kalau suatu saat Tuhan
boleh
memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk mendoakan
kesembuhan anaknya. Setiap hari.

Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi kicauan
burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak itu
berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yg tertidur di sampingnya.
Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Tuhan telah mengabulkan
doa
sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan tangan sang ayah
yg
telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat sang ayah, sambil berkata.
"Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau telah setia menjagaku."

Sahabatku, terkadang seperti Anak itulah Tingkah kita. Terkadang kita Buta
dan Tuli, tidak mau sedikitpun mendengar dan melihat sekeliling kita. Tapi
Tuhan sebagai AYAH YANG BAIK dan SETIA pada Kita. Dia selalu dengan Sabar
Menuntun dan Menolong Kita.

Template by : x-template.blogspot.com
Trik-Tips Blog Trick Blog